laskarhabsy.blogspot.com

Minggu, 20 Februari 2011

Sejarah Diadakannya Maulid Nabi Muhammad SAW

Assalaamu’alaikum Wr. Wb.

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa’. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya,” (QS al-Kahfi [18]: 110).
Seperti Biasa, Pada bulan Rabi’ulawal, Berbagai acara diadakan untuk memeringati momentum istimewa ini. Peringatan Maulid Nabi ini—yang dikenal sebagai Muludan oleh Masyarakat Jawa—bisa berbeda antara satu daerah dengan daerah lain sesuai dengan kultur dan tradisi masyarakat setempat. Namun intinya tetap sama, memeringati hari lahirnya manusia agung yang dalam bahasa agama disebut sebagai insan al-kamil (manusia paripurna). Memang ada sebagian kalangan yang tidak menyetujui perayaan Maulid Nabi. Perayaan ini, menurut mereka, tidak mempunyai landasan dalam al-Qur’an maupun hadits dan juga tidak dipratikkan oleh Rasulullah Saw, sahabat, tabi’in, ataupun tabi’it tabi’in. Karena itu, tambah mereka, perayaan ini dikategorikan sebagai bid’ah. Kita tidak ingin mempertentangkan antara kelompok yang mengatakan peringatan maulid adalah ritual yang mesti dijalankan, dengan kelompok lain yang menganggap peringatan maulid sebagai perbuatan yang mengada-ada atau bid’ah. Terlepas dari dua pendapat tersebut, penulis ingin mengangkat semangat perayaan Maulid Nabi Saw yang “dipopulerkan” oleh Sultan Salahuddin Al-Ayyubi untuk kemudian dikontekstualisasi dengan kondisi kekinian umat Islam. Sejarah Perayaan Maulid Salahuddin Al-Ayyubi—dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama “Saladin”—berasal dari dinasti Ayyub (setingkat gubernur). Ia memerintah dari tahun 1174-1193 M atau 570-590 H. Ia bukanlah orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi. Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Pada masa itu dunia Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Bagdad, sebagai lambang persatuan spiritual. Guna menghidupkan daya juang (jihad) umat Islam untuk merebut kembali Yerussalem, Salahuddin meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad yakni An-Nashir agar umat Islam di seluruh dunia merayakan hari lahir Nabi Muhammad Saw. Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Ternyata ide yang dilontarkan Salahuddin ini disambut baik oleh Khalifah. Maka, pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi), Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji. Ia mengimbau agar jemaah haji setelah kembali ke kampungnya masing-masing menyosialisasikan perayaan Maulid Nabi. Salahuddin menyatakan bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M), setiap tanggal 12 Rabiul-Awal, dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dan diisi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat juang umat Islam. Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu menimbulkan efek yang luar biasa. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil mengimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa. Di bawah kepemimpinannya, Perang Salib diakhiri dengan sedikit jumlah korban. Tak seperti saat tentara Salib menduduki Jerusalem dan membunuh semua Muslim yang tersisa, pasukan Shalahuddin mengawal umat Kristen dan memastikan jiwa mereka selamat saat keluar dari Jerusalem. Begitulah akhlak Islam dalam perang yang dicontoh kan Rasulullah Saw. Maulid Kontekstual Berangkat dari latar belakang historis maulid tersebut, jelas bahwa maulid itu sangat tergantung pada konteks. Jika dahulu Salahuddin berhadapan dengan tentara Salib, bagaimana dengan kondisi umat Islam sekarang? Untuk itu diperlukan kejelian dalam melihat permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat Islam saat ini. Di antara persoalan-persoalan besar yang dihadapi umat adalah kemelaratan, kemiskinan, dan kebodohan serta perpecahan di tubuh umat Islam yang terkadang berakhir dengan konflik berdarah. Keempat persolan tersebut adalah masalah klasik yang belum terpecahkan sampai detik ini. Adapun permasalahan kontemporer yang dihadapi umat adalah, terorisme, kekerasan atas nama agama, tatanan dunia yang tidak adil, korupsi, narkoba, judi, pornografi dan hal-hal yang berbau takhayul. Isu-isu ini semestinya diangkat oleh muballigh, ustaz, da’i kepermukaan dan dibicarakan dalam peringatan maulid. Syukur-syukur kita mampu menemukan jalan keluarnya. Adalah menjadi lebih baik, jika dari sebuah peringatan maulid kita dapat melahirkan sebuah aksi nyata atau program yang konkrit yang bisa langsung dirasakan masyarakat seperti pemberdayaan di bidang pendidikan dan ekonomi. Pemberdayaan di dua bidang ini mempunyai peran sentral dalam mengangkis umat dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Kebodohan dan kemiskinan umat Islam ini mesti secepatnya dihilangkan karena dua hal ini merupakan adalah satu faktor utama yang menjerembabkan umat Islam dalam aksi kekerasan atau terorisme—perbuatan yang meluluhlantahkan citra Islam sebagai agama damai di tengah percaturan politik global. Jika maulid tidak lagi kontekstual, tidak mempunyai daya “pecut” menggugah semangat juang kita untuk melakukan langkah kongkret bagi kemajuan dan kemakmuran—hanya sebatas seremonial saja—sangat dikhawatirkan umat Islam akan terlempar pada romantisisme sejarah. Perlahan namun pasti, kita pun mengkultuskan Nabi Muhammad Saw sebagai orang suci yang memiliki keistimewaan ketuhanan. Padahal al-Qur’an menyebut bahwa Nabi Muhammad Saw sebagai manusia biasa. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt yang berbunyi, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa’. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya,” (QS al-Kahfi [18]: 110). Penegasan Al-Qur’an bahwa Rasulullah Saw adalah manusia biasa, sama seperti kita, membuatnya menjadi sangat istimewa. Karena sebagai manusia biasa yang memiliki hawa nafsu, tidak seperti malaikat, Rasulullah Saw berhasil melepaskan diri dari jeratan hawa nafsu dan tampil sebagai insan al-kamil; manusia yang senantiasa hidup dalam tuntunan nilai-nilai Ilahi.