laskarhabsy.blogspot.com

Selasa, 27 November 2012

Kumpulan Syair-Syair Maulid Habsyi


Mohon maaf yah jika gag ada memberi nama-nama grup penyair nya
soal ny saia dapet nih lagu juga random, minta dari temen. di tanya temen ny juga gag tau siapa grup nya
MOHON MAAF SEBESAR_BESAR NYA jika anda merasa di RUGIKAN dengan ini
Tingal Klik Judul Lagu Nya Az

mp3 syair AL-Hijratu
mp3 syair Bulbulaqba 
mp3 syair dauni dauni 
mp3 syair Akhsyar ukhaya 
mp3 syair Khairal Barriyah 
mp3 syair Ya Zairinal Mustofa 
mp3 syair sholatum bissalam (festival) 
mp3 syair Ya Rasulullah (Festival) 
mp3 syair Ya Zairinal Mustofa (Kolaborasi) 
mp3 syair Allahumma Shalli 
mp3 syair Allah-Allah 
mp3 syair Ya Sayiddi 
mp3 syair Payasha 
mp3 syair Assalamualaik 
mp3 syair Sholawatullah Hitaqsha 
mp3 syair Shollu Alaikallah 
mp3 syair Ya Nabi Salam Alaika 
mp3 syair Tholama 
mp3 syair Ya Man Yaro 
mp3 syair Mabrokal 
mp3 syair Ya Abal Hasan 
mp3 syair Innal Habbibal 
mp3 syair Mabrokal 2 
mp3 syair Hurrabbi 
mp3 syai Azmalazikra
mp3 syair Ya sayyidi
mp3 syair Ya Rabbibil Musthofa
mp3 syair Festival Raudhatul Jinan 2011
mp3 syair Ya Nabi Salam Alaika
mp3 syair Ya Nabi Salam Alaika
mp3 syair Ya Nabi Salam Alaika
mp3 syair Ya Nabi Salam Alaika
mp3 syair Innalhabib
mp3 syair Qodtamamallah
mp3 syair Khairal Barriyyah
mp3 syair Ya Rasulullah Salamun Alaik
mp3 syair Shollatum Bissalam (Kolaborasi Grup)
mp3 syair Raudhatul Jinan Marhaban
mp3 syair Raudhatul Jinan sholatullah
mp3 syair ya rabibil
mp3 syair yaman yaro
mp3 syair ya rabibil mostofa
mp3 syair ya nabi salam alaik
mp3 syair ya nabi nanha
mp3 syair ya muhaimmin
mp3 syair ya man yarro
mp3 syair ya khairul haddi
mp3 syair ya khairul haddi
mp3 syair ya bani musthofa
mp3 syair ya hil baitin nabi
mp3 syair ya badratim
mp3 syair siiru
mp3 syair ya akramal alqi
mp3 syair sholatumbissalam
mp3 syair ya nur ala nabi
mp3 syair maulidul hadi
mp3 syair ya waradul anas
mp3 Syair Ya Hanana
mp3 syair Festival Raudhatul Jinan Sholatullahimalahat
mp3 syair Festival Ya Imamarus
mp3 syair Festival Khobbiri
mp3 syair Festival Birasulillah
mp3 syair Festival Ya Rabibil Musthofa
mp3 syair festival Raudhatul Jinan Sholatullah Shalamullah
mp3 syair mushohabatur rijal
mp3 syair qolbi yunadi
mp3 syair ya nabi salam alaika
mp3 syair asroqot syamsu yaqini
mp3 syair Ya Nabi Nahnha
mp3 syair Hurabbi
mp3 syair Ya Sayyidas
mp3 syair dinuya nasurun
mp3 syair Kunta Rohiman
mp3 syair zumaluhum
mp3 syair Ya Huqulbi
mp3 syair Kalamun
mp3 syair La Illa Haila Anta
mp3 syair Asbirobbi
mp3 syair Antudahilana Robbi Jana
mp3 syair Allahu


password rar : laskarhabsy.blogspot.com /  laskar028
note:
silahkan copy ke blog anda sendiri, tetapi jangan lupa untuk memasukkan link tempat anda mengcopy. hargai karya orang lain. :D

Bilal bin Rabbah

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meinggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Sholallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung… , dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.
Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal-semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah(1) Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas(2.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya…”
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu.. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih,
Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh(3) dikelilingi pohon idzkhir(4) dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah(5)
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil(6)
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman…. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah…. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Sholallahu ‘alaihi wasallam.. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanyma saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan RasulullahSholallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.
Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam.
Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.
Bilal menyertai Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ‘sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Sholallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu…. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..
Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
Al-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”
Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
Sesaat setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Rodhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.
Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali,
“Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..
BiIal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat. Saat menjelang kematiannya, istri Bilal menunggu di sampingnya dengan setia seraya berkata, “Oh, betapa sedihnya hati ini….”
Tapi, setiap istrinya berkata seperti itu, Bilal membuka matanya dan membalas, “Oh, betapa bahagianya hati ini…. ” Lalu, sambil mengembuskan napas terakhirnya, Bilal berkata lirih,
“Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya”

Sejarah Kehidupan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Nama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari hingga kini masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meski putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812 M silam. Ia meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-karyanya bak sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia menjulukinya sebagai Matahari Islam Nusantara. Matahari itu terus memberikan pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, menurut situs wikipedia, adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Saat kembali ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian bernama Dalam Pagar.

Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Pada awalnya, lokasi ini berupa sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahmid Allah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan, dan asrama para santri.
Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan masa itu.
Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan, tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil. Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.
Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad utup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabilal Muhtadin, Tuhfatur Raghibiin, Al Qaulul Mukhtashar, di samping kitab Ushuluddin, kitab Tasauf, kitab Nikah, kitab Faraidh, dan kitab Hasyiyah Fathul Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei, dan Pattani (Thailand Selatan).
Anak Cerdas dari Lok Gabang
Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya. Tiba kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.
Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.
Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang solehah. Ketika Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya.
Begitulah sepenggal kisah perjalanan hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19 Maret 1710 M. Ia adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan Hukum Fiqih di Asia Tenggara.
Perdalam Ilmu Agama
Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi, dan al ‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd Karim al Samman al Hasani al Madani. Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu Qiraat. Ia bahkan mengarang kitab Qiraat 14 yang bersumber dari Imam Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.
Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari belajar bersama tiga orang Indonesia lainnya: Syekh Abdul Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdul Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan Empat Serangkai dari Tanah Jawa yang sama-sama menuntut ilmu di al-Haramain al Syarifain. Kemudian, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.
Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tamjidillah, menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar.
Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah.
Lebih 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya, sebelum maut menjemputnya. Dia meninggal pada 1812 M di usia 105 tahun. Sebelum wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka ia dikebumikan Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak sekitar 56 km dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan panggilan lain anak cerdas kelahiran Lok Gabang ini.
Sabil Al-Muhtadin
Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa Arab.
Buku-buku yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di Indonesia cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama asal Timur Tengah, ulama Nusantara, maupun para ilmuwan kontemporer yang memiliki spesifikasi tentang keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam.
Dari berbagai buku-buku fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi Amr Al-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk agar menjadi faqih (alim) dalam urusan agama.
Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj yang ditulis oleh Syekh al-Jamal al-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Syekh al-Islam Zakaria al-Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib Syarbini, kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Miratu al-Thullab oleh Syekh Abdurrauf al-Sinkili, dan kitab Shirat al-Mustaqim karya Nurruddin al-Raniri.
Selain itu, ada alasan utama yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini. Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar (Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah satunya adalah kitab Shirat al-Mustaqim yang ditulis Syekh Nurruddin al-Raniri.
Kitab Shirat al-Mustaqim-nya al-Raniri ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih bernuansa bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar.
Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah dan diselesaikan pada 1195/1781 M.
Secara umum, kitab ini menguraikan masalah-masalah fikih berdasarkan mazhab Syafi'i dan telah diterbitkan oleh Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini terdiri atas dua jilid.
Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas masalah-masalah fikih, antara lain, ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji.
Kitab ini lebih banyak menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu, kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu.
Kontekstual
Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul “Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-Muhtadin,” menyatakan, Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang. Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau tentang zakat.
Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang sangat progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu.
Syekh Arsyad al-Banjari menyatakan, Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin maupun pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Misalnya, umur yang biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan zakat kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.
Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang cukup untuk masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yang disebutkan di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun yang sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di masa sisa umur manusia secara umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan diwariskannya kepada keluarganya karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada mustahik yang lain. Inilah tentang fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan tidak bisa berdagang.
Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah melampaui zamannya. Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep kemaslahatan umum (maslahah al-ammah), di mana zakat tidak sekadar dimaknai sebagai pemberian karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak hanya terputar di kalangan orang kaya semata, ujar Kailani.
Beliau memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa menghidupi keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima zakat lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di Eropa, di mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya yang belum memperoleh pekerjaan layak, tambahnya.
Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Masudi mengenai zakat yang ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya-upaya reinterpretasi kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim kontemporer.
Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh ulama-ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yang terlontar melampaui zamannya.
Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, hingga Thailand.
https://blogger.googleusercontent.com/tracker/7768885346395455408-6241527312909831540?l=beritakbar.blogspot.com