laskarhabsy.blogspot.com

Selasa, 27 Januari 2009

Pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah Oleh Kaum Quraisy

Sebagaimana Anda ketahui, Rasul Allah saaw pernah menjalin perjanjian damai dengan kaum musyrikin Quraisy yang dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah. Isi terpenting dari perjanjian tersebut ialah bahwa kedua belah tidak akan saling memerangi baik langsung mapun tidak langsung.

Akan tetapi kaum Quraisy, melanggar perjanjian Hudaibiyah ini ketika mereka memasok kabilah Bani Bakr dengan senjata perang. Kaum Qureisy mendorong Bani Bakr dari suku Kinanah yang bersahabat dengannya ini untuk menyerang Khuza’ah yang bersahabat dengan muslimin. Maka Bani Bakr pun menyerang Bani Khuza’ah pada malam hari. Mereka membunuh sejumlah mereka dan menyandera sejumlah lainnya. Rasul Allah saaw mendengar tentang perbuatan Bani Bakr terhadap Bani Khuza’ah yang mendapat dukungan dari Qureisy. Rasul pun berjanji akan menolong Bani Khuza’ah.

Akan tetapi kaum Qureisy menyesali pelanggaran yang mereka lakukan, yaitu mempersenjatai Bani Bakr dan mendorongnya untuk memerangi Khuza’ah. Mereka pun mengirim salah seorang tokoh mereka yaitu Abu Sufyan ke Madinah untuk menjumpai Nabi saaw dan meminta maaf sekaligus menekankan komitmen mereka terhadap perjanjian damai yang telah mereka buat di Hudaibiyah. Mula-mula Abu Sufyan mendatangi rumah putrinya, Ummu Habibah, salah seorang istri Rasul Allah saaw.

Akan tetapi ia tidak mendapat penghormatan yang semestinya dari putrinya ini, melihat bahwa Abu Sufyan adalah seorang musyrik dan najis. Kemudian Abu Sufyan pergi langsung menemui Nabi saaw, dan berbicara kepada beliau tentang kemungkinan memperbarui pernajnian damai. Akan tetapi Rasul Allah saaw tidak memberikan jawaban apa pun kepadanya, yang menunjukkan bahwa beliau tidak menaruh perhatian kepada Abu Sufyan dan misi yang dibawanya.

Abu Sufyan masih belum berputus asa, dan pergi menemui beberapa sahabat Nabi saaw untuk menolongnya menyampiakan misi yang ia bawa kepada Nabi, yaitu membuat perjanjian damai baru. Akan tetapi para sahabat pun tidak memberikan jawaban. Kemudian Abu Sufyan pergi ke rumah Imam Ali dan Sayidah Fatimah as, menyampaikan permohonan agar mereka bersedia membantunya untuk berbicara dengan Rasul Allah saaw. Imam Ali as menjawab, “Demi Allah, Rasul Allah saaw telah mengambil keputusan dimana tak ada satu pun dari kami yang dapat memintanya untuk mengubah keputusan tersebut.”

Abu Sufyan pun menoleh kepada Sayidah Fatimah as, lalu meminta kepada beliau untuk berbicara kepada Nabi saaw dan menyampaikan permohonan maaf dari kaum musyrikin Qureisy. Akan tetapi Sayidah Fatimah pun dengan tegas menolak seraya mengatakan bahwa semua itu terpulang kepada keputusan Rasul Allah saaw sendiri.

Adapun Rasul Allah saaw, telah mengambil ketetapan dan memerintahkan mobilisasi umum dengan tujuan menaklukkan kota Makkah, benteng terkuat diantara benteng-benteng para penyembah berhala, dan menghancurkan pemerintahan kaum Qureisy yang zalim, yang selama ini merupakan kendala terbesar bagi kemajuan dan penyebaran ajaran Islam.

Doa Nabi saaw di hari-hari itu ialah permohonan kepada Allah swt agar membutakan mata orang-orang Qureisy sehingga tidak meliat kedatangan muslimin dan tidak mengetahui tujuan mereka. beliau berdoa demikian :

اللّهم خُذ على قريش أبصارهم فلا يروني إلاّبغتةً ولا يسمعون بي إلاّ فجأة

"Ya Allah cabutlah penglihatan orang-orang Qureisy sehingga mereka tidak akan melihat kedatanganku kecuali dalam keadaan tiba-tiba dan tidak mendengar rencanaku ini kecuali mendadak"

Di bulan Ramadlan tahun kedelapan, berkumpullah umat muslimin dalam jumah yang besar untuk berangkat menuju Makkah. Berbagai kabilah dan suku Arab yang telah menyatakan keislaman mereka juga turut serta. Diantara mereka yang ikut dalam rombongan fathu Makkah ini ialah, kaum Muhajirin 700 orang dengan tiga bendera ditambah 300 ekor kuda. Kaum Anshar 4000 orang dengan banyak bendera ditambah 700 ekor kuda. Kabilah Muzainah 1000 orang dengan dua bendera dan 100 ekor kuda. Kabilah Juhainah 800 orang dengan empat bendera dan 50 ekor kuda. Kabilah Bani Ka’ab 500 orang dengan tiga bendera. Selain mereka ikut pula sejumlah besar orang dari kabilah Ghifar, Asyja’ dan Bani Sulaim. Ibnu Hisyam, salah seorang penulis sejarah terkenal mengatakan bahwa muslimin yang ikut serta dalam Fathu Makkah mencapai 10.000 orang.

Hampir saja berita tentang kedatangan kaum muslimin ke Makkah ini sampai ke telinga orang-orang Makkah. Jibril as datang kepada Nabi saaw memberitakan bahwa ada seorang mata-mata di kalangan muslimin yang mengirim surat kepada kaum Qureisy, melalui seorang perempuan bernama Sarah, seorang penyanyi dan penghibur, yang ingin membocorkan rencana besar Rasul Allah saaw menaklukkan kota Makkah ini. Jibril memberitakan bahwa perempuan bersama suatu rombongan tengah bergerak menuju Makkah.

Mendengar itu Rasul Allah saaw memerintahkan kepada Imam Ali as, Miqdad dan Zubeir, untuk mengejar perempuan tersebut, menahannya dan mengambil surat itu darinya. Mereka bertiga berhasil mengejar rombongan tersebut, lalu menahan perempuan itu dan memintanya untuk menyerahkan suratnya. Akan tetapi perempuan tersebut membantah dan mengatakan bahwa ia tidak membawa surat apa pun.

Tentu saja Imam Ali as sama sekali tidak percaya omongan perempuan ini karena ia yakin seratus persen bahwa Jibril as tidak mungkin berbohong. Untuk itu beliau berkata dengan nada keras dan mengancam perempuan tersebut, jika tidak bersedia menyerahkan surat, terpaksa beliau akan menggeledahnya. Karena merasa takut maka perempuan itu pun menyerah dan mengeluarkan surat rahasia tersebut.

Penaklukan Kota Makkah

Setelah kaum musyrikin Qureisy melanggar perjanjian damai dengan Rasul Allah saaw, dan setelah utusan mereka yaitu Abu Sufyan, gagal meminta maaf dari Rasul Allah saaw, dan kembali ke Makkah dengan tangan hampa, Rasul Allah saaw menyusun rencana rahasia untuk menaklukkan kota Makkah. Akan tetapi beliau tidak menginginkan adanya pertumpahan darah dalam hal ini. Untuk itulah beliau menyusun strategi dengan sangat rapi, dengan memperhitungkan tujuan beliau itu.

Rasul Allah saaw pun memulai gerakan besarnya ini tanpa seorang pun yang mengetahui dengan pasti tujuan beliau, selain sejumlah kecil orang kepercayaan beliau. Saat itu tanggal 10 Ramadlan. Beliau dan muslimin dalam keadaan berpuasa. Di tengah jalan beliau berbuka dengan meneguk air, dan meminta seluruh anggota pasukan untuk melakukan hal yang sama, dengan tujuan agar mereka memiliki kekuatan dan tidak lemah ketika berhadapan dengan musuh.

Setelah Rasul bergerak dari Madinah menuju Makkah, paman beliau, Abbas bin Abdulmuttalib, juga bergerak dari Makkah menuju Madinah untuk bergabung bersama Rasul Allah saaw. Sebagaimana diketahui, setelah Rasul Allah saaw dan muslimin berhijrah dari Makkah ke Madinah, Abbas bin Abdulmuttalib tetap berada di Makkah, tidak ikut berhijrah ke Madinah. Hal itu adalah atas permintaan Nabi saaw, dengan tujuan agar Abbas memata-matai semua kegiatan kaum musyrikin Quraisy dan menghinformasikannya kepada Rasul Allah saaw di Madinah.

Untuk itulah Abbas paman Rasul ini, menyembunyikan keislamannya dan menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh Qureisy seperti Abu Sufyan dan lain-lain. Ketika Abbas menyongsong ke datangan Rasul Allah dan muslimin di tengah jalan antara Makkah dan Madinah, Abbas membawa serta Abu Sufyan dan seorang lagi tokoh Qureisy bernama Abdullah bin Abi Umayyah bin Al-Mughirah. Dua orang ini adalah yang paling getol memusuhi Rasul Allah saaw dan yang sangat aktif dalam usaha menggagalkan dakwah beliau. Setelah Abbas dan dua orang ini bergabung bersama Rasul Allah saaw, kedua orang tersebut ingin bertemu dengan Nabi, akan tetapi mereka tidak mendapat ijin untuk itu.

Ketika pasukan Islam sudah sampai di pinggiran kota Makkah, Rasul Allah saaw memerintahkan untuk menyalakan api di atas gunung dan bukit-bukit sekitar Makkah dari arah Madinah, dengan tujuan menciptakan rasa takut dipada penduduk Makkah. Beliau juga meminta agar setiap orang dari tentaranya membawa obor di tangan sehingga akan tampak sebuah garis memanjang dari api. Semua itu adalah untuk menunjukkan kepada penduduk Makkah bahwa yang datang kali ini adalah pasukan muslimin dalam jumlah yang besar. Rasul Allah saaw juga mengutus Abbas, paman beliau, untuk memberitakan kepada warga Makkah agar menyerah terhadap pasukan muslimin dan tidak mengadakan perlawanan.

Ringkas cerita, penduduk Makkah benar-benar merasa ketakutan melihat atau mendengar besarnya kekuatan pasukan muslimin, sehingga tak ada lagi semangat perlawanan dari mereka. Inilah memang yang dikehendaki oleh Rasul Allah saaw, yaitu penaklukan kota Makkah tanpa pertumpahan darah. Ketika masih berada di pinggiran Makkah dan sebelum memasuki kota ini, Rasul Allah saaw menerima Abu Sufyan di kemah beliau.

Diantara pembicaraan antara Rasul Allah saaw dan Abu Sufyan ialah bahwa Rasul Allah saaw berkata kepadanya, “Belum tibakah saatnya bagimu untuk meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Abu Sufyan berkata, “Sesungguhnyalah wahai Muhammad, betapa lembutnya hatimu, betapa mulianya dirimu dan betapa besarnya perhatianmu terhadap pertalian keluarga. Demi Allah, aku telah menyangka bahwa jika ada tuhan lain selain-Nya, maka aku tidak akan memerlukannya.” Kemudian Rasul Allah saaw berkata, “Belum tibakah saatnya bagimu untuk meyakini bahwa aku adalah utusan Allah?” Abu Sufyan menjawab, “Demi Allah tentang yang satu ini di hati masih ada ganjalan.”

Mendengar jawaban Abu Sufyan seperti itu, Abbas bin Abdulmuttalib yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut, marah dan membentak Abu Sufyan, “Menyerahlah dan bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, sebelum lehermu dipenggal.” Maka Abu Sufyan pun mengucapkan dua kalimat syahadah tersebut, dan Rasul Allah saaw pun menerima keislamannya yang seperti itu. Akan tetapi Rasul Allah saaw tetap meminta kepada Abbas agar tetap menjaga dan mengawasi Abu Sufyan karena orang ini masih belum bisa dipercaya.

Kemudian atas permintaan Rasul pula, Abbas membawa Abu Sufyan ke suatu tempat agak tinggi, di atas jalan yang akan dilalui oleh rombongan pasukan muslimin, agar menyaksikan kehebatan kekuatan muslimin ketika memasuki kota Makkah. Ketika Abu Sufyan menyaksikan masuk pasukan muslimin rombongan demi rombongan, sementara Abbas memberikan penjelasan kepadanya tentang ciri-ciri dan kehebatan pasukan muslimin, Abu Sufyan berkata, “Benar-benar hebat mereka itu. Demi Allah, kerajaan keponakanmu telah sedemikian besar dan kuat.” Abbas menjawab, ”Celaka kau Hei Abu Sufyan, ini bukan kerajaan, akan tetapi kenabian.”

Demikianlah Rasul Allah saaw dan pasukannya memasuki kota Makkah dengan penuh kewibawaan, tanpa pertumpahan darah, berkat strategi yang beliau rancang dengan sebaik-baiknya. Kemudian Rasul Allah saaw membebaskan Abu Sufyan untuk menemui tokoh-tokoh Makkah dan memastikan lagi kepada mereka untuk menyerah sepenuhnya dan tidak mengadakan perlawanan menghadapi pasukan muslimin. Akan tetapi, meskipun Rasul Allah saaw memerintahkan tentaranya untuk tidak memulai menyerang, kecuali jika diserang, beliau menjatuhkan hukuman mati untuk sepuluh orang dari penduduk Makkah, dan memerintahkan kepada pasukannya agar membunuh mereka, meskipun mereka berlindung di balik kain Ka’bah. Nama-nama sepuluh orang yang dijatuhi hukuman mati oleh Rasul Allah saaw ini ialah:

1- Ikrimah bin Abi Jahal 2- Hubar bin Aswad

3- Abdullah bin Abi Sarh 4- Qeis bin Hubabah Al-Kindi

5- Al-Huwairits bin Nuqainad 6- Shofwan bin Umayyah

7- Wahsyi bin Harb, pembunuh Sayidina Hamzah 8- Abdullah bin Zab’ari

9- Harits bin Thalalah 10- Abdullah bin Khathl

7 kali naik haji tidak dapat melihat Ka'bah

Sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya, Hasan (bukan nama sebenarnya), mengajak ibunya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu, tentu senang dengan ajakan anaknya itu. Sebagai muslim yang mampu secara materi, mereka memang berkewajiban menunaikan ibadah Haji.

Segala perlengkapan sudah disiapkan. Singkatnya ibu anak-anak ini akhirnya berangkat ke tanah suci. Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang satu apapun. Tiba harinya mereka melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah, Tuhan Semesta Alam. “Labaik allahuma labaik, aku datang memenuhi seruanMu ya Allah”.

Hasan menggandeng ibunya dan berbisik, “Ummi undzur ila Ka’bah (Bu, lihatlah Ka’bah).” Hasan menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam itu. Ibunya yang berjalan di sisi anaknya tak beraksi, ia terdiam. Perempuan itu sama sekali tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh anaknya.

Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak bingung melihat raut wajah ibunya. Di wajah ibunya tampak kebingungan. Ibunya sendiri tak mengerti mengapa ia tak bisa melihat apapun selain kegelapan. beberapakali ia mengusap-usap matanya, tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan.

Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan matanya. Beberapa menit yang lalu ia masih melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa memasuki Masjidil Haram segalanya menjadi gelap gulita. Tujuh kali Haji Anak yang sholeh itu bersimpuh di hadapan Allah. Ia shalat memohon ampunan-Nya. Hati Hasan begitu sedih. Siapapun yang datang ke Baitullah, mengharap rahmatNYA. Terasa hampa menjadi tamu Allah, tanpa menyaksikan segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya.

Hasan tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah dan taubatnya yang sungguh-sungguh, Ibundanya akan dapat merasakan anugrah-Nya, dengan menatap Ka’bah, kelak. Anak yang saleh itu berniat akan kmebali membawa ibunya berhaji tahun depan. Ternyata nasib baik belum berpihak kepadanya.

Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya kembali dibutakan di dekat Ka’bah, sehingga tak dapat menyaksikan bangunan yang merupakan symbol persatuan umat Islam itu. Wanita itu tidak bisa melihat Ka’bah.

Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa ibunya ke tanah suci tahun berikutnya.

Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat Ka’bah. Setiap berada di Masjidil Haram, yang tampak di matanya hanyalah gelap dan gelap. Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri Sarah. hingga kejadian itu berulang sampai tujuh kali menunaikan ibadah haji.

Hasan tak habis pikir, ia tak mengerti, apa yang menyebabkan ibunya menjadi buta di depan Ka’bah. Padahal, setiap berada jauh dari Ka’bah, penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya punya kesalahan sehingga mendapat azab dari Allah SWT ?. Apa yang telah diperbuat ibunya, sehingga mendapat musibah seperti itu ? Segala pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya diputuskannya untuk mencari seorang alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya.

Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama yang terkenal karena kesholehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi (Uni Emirat). Tanpa kesulitan berarti, Hasan dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud.

Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama yang saleh ini. Ulama itu mendengarkan dengan seksama, kemudian meminta agar Ibu dari hasan mau menelponnya. anak yang berbakti ini pun pulang. Setibanya di tanah kelahirannya, ia meminta ibunya untuk menghubungi ulama di Abu Dhabi tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi permintaan anaknya. Ia pun mau menelpon ulama itu, dan menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya di tanah suci. Ulama itu kemudian meminta Sarah introspeksi, mengingat kembali, mungkin ada perbuatan atau peristiwa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga ia tidak mendapat rahmat Allah. Sarah diminta untuk bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur, apa yang telah dilakukannya.

“Anda harus berterus terang kepada saya, karena masalah Anda bukan masalah sepele,” kata ulama itu pada Sarah.

Sarah terdiam sejenak. Kemudian ia meminta waktu untuk memikirkannya. Tujuh hari berlalu, akan tetapi ulama itu tidak mendapat kabar dari Sarah. Pada minggu kedua setelah percakapan pertama mereka, akhirnya Sarah menelpon. “Ustad, waktu masih muda, saya bekerja sebagai perawat di rumah sakit,” cerita Sarah akhirnya. “Oh, bagus…..Pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia,” potong ulama itu. “Tapi saya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, tidak peduli, apakah cara saya itu halal atau haram,” ungkapnya terus terang. Ulama itu terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu akan berkata demikian.

“Disana….” sambung Sarah, “Saya sering kali menukar bayi, karena tidak semua ibu senang dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada yang menginginkan anak laki-laki, padahal bayi yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan uang, saya tukar bayi-bayi itu sesuai dengan keinginan mereka.”

Ulama tersebut amat terkejut mendengar penjelasan Sarah.
“Astagfirullah……” betapa tega wanita itu menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah untuk melahirkan anak. bayangkan, betapa banyak keluarga yang telah dirusaknya, sehingga tidak jelas nasabnya.

Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam menjaga nasab atau keturunan sangat penting.

Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi tidak jelas. Padahal, nasab ini sangat menentukan dala perkawinan, terutama dalam masalah mahram atau muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.

“Cuma itu yang saya lakukan,” ucap Sarah.
“Cuma itu ? tanya ulama terperangah. “Tahukah anda bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa, betapa banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan !”. ucap ulama dengan nada tinggi.

“Lalu apa lagi yang Anda kerjakan ?” tanya ulama itu lagi sedikit kesal.
“Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas memandikan orang mati.”
“Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia,” kata ulama.

“Ya, tapi saya memandikan orang mati karena ada kerja sama dengan tukang sihir.”
“Maksudnya ?”. tanya ulama tidak mengerti.

“Setiap saya bermaksud menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau sakit, segala perkakas sihir itu sesuai dengan syaratnya, harus dipendam di dalam tanah. Akan tetapi saya tidak menguburnya di dalam tanah, melainkan saya masukkan benda-benda itu ke dalam mulut orang yang mati.”

“Suatu kali, pernah seorang alim meninggal dunia. Seperti biasa, saya memasukkan berbagai barang-barang tenung seperti jarum, benang dan lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu seperti terpental, tidak mau masuk, walaupun saya sudah menekannya dalam-dalam. Benda-benda itu selalu kembali keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya masukkan benda itu dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya lakukan.”

Mendengar penuturan Sarah yang datar dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah.

“Cuma itu yang kamu lakukan ? Masya Allah….!!! Saya tidak bisa bantu anda. Saya angkat tangan”.

Ulama itu amat sangat terkejutnya mengetahui perbuatan Sarah. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya ada seorang manusia, apalagi ia adalah wanita, yang memiliki nurani begitu tega, begitu keji. Tidak pernah terjadi dalam hidupnya, ada wanita yang melakukan perbuatan sekeji itu.

Akhirnya ulama itu berkata, “Anda harus memohon ampun kepada Allah, karena hanya Dialah yang bisa mengampuni dosa Anda.”

Bumi menolaknya. Setelah beberapa lama, sekitar tujuh hari kemudian ulama tidak mendengar kabar selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia mencari tahu dengan menghubunginya melalui telepon. Ia berharap Sarah t elah bertobat atas segala yang telah diperbuatnya. Ia berharap Allah akan mengampuni dosa Sarah, sehingga Rahmat Allah datang kepadanya. Karena tak juga memperoleh kabar, ulama itu menghubungi keluarga Hasan di mesir. Kebetulan yang menerima telepon adalah Hasan sendiri. Ulama menanyakan kabar Sarah, ternyata kabar duka yang diterima ulama itu.

“Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelpon ustad,” ujar Hasan.

Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut.

“Bagaimana ibumu meninggal, Hasan ?”. tanya ulama itu.

Hasanpun akhirnya bercerita : Setelah menelpon sang ulama, dua hari kemudian ibunya jatuh sakit dan meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Sarah. Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan jenazah atas ijin Allah, tanah itu rapat kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali mencari lokasi lain untuk digali. Peristiwa itu terulang kembali. Tanah yang sudah digali kembali menyempit dan tertutup rapat. Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, sehingga tidak seorangpun pengantar jenazah yang menyadari bahwa tanah itu kembali rapat. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Para pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri dan merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan dengan perbuatan si mayit.

Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa dan kecapaian karena pekerjaan mereka tak juga usai. Siangpun berlalu, petang menjelang, bahkan sampai hampir maghrib, tidak ada satupun lubang yang berhasil digali. Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang. Jenazah itu dibiarkan saja tergeletak di hamparan tanah kering kerontang.

Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Hasan tidak tega meninggalkan jenazah orang tuanya ditempat itu tanpa dikubur. Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Hasan termenung di tanah perkuburan seorang diri.

Dengan ijin Allah, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki yang berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki itu tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup kepalanya yang menjorok ke depan. Laki-laki itu mendekati Hasan kemudian berkata padanya,” Biar aku tangani jenazah ibumu, pulanglah!”. kata orang itu.

Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki itu akan menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk kemudian mengebumikan ibunya.

“Aku minta supaya kau jangan menengok ke belekang, sampai tiba di rumahmu, “pesan lelaki itu.

Hasan mengangguk, kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di luar lokasi pemakaman, terbersit keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kenazah ibunya.

Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat wajah Hasan, melihat jenazah ibunya sudah dililit api, kemudian api itu menyelimuti seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya, sedetik kemudian dari arah yang berlawanan, api menerpa wajah Hasan. Hasan ketakutan. Dengan langka h seribu, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.

Demikian yang diceritakan Hasan kepada ulama itu. Hasan juga mengaku, bahwa separuh wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama semua cerita yang diungkapkan Hasan. Ia menyarankan, agar Hasan segera beribadah dengan khusyuk dan meminta ampun atas segala perbuatan atau dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi, ulama itu tidak menceritakan kepada Hasan, apa yang telah diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.

Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila anak yang soleh itu memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka bekas luka di pipinya dengan ijin Allah akan hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian Hasan kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya yang dulu amat terasa sakit dan panas luar biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa tahu apa yang telah dilakukan ibunya selama hidup, Hasan tetap mendoakan ibunya. Ia berharap, apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh ibunya, akan diampuni oleh Allah SWT.