Nama
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari hingga kini masih melekat di hati masyarakat
Martapura, Kalimantan Selatan, meski putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19
Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812 M silam. Ia meninggalkan banyak
jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-karyanya bak sumur
yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak mengherankan bila
seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia menjulukinya
sebagai Matahari Islam Nusantara. Matahari itu terus memberikan pencahayaan
bagi kehidupan umat Islam.
Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari, menurut situs wikipedia, adalah pelopor pengajaran
Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di
Mekkah. Saat kembali ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah
membuka tempat pengajian bernama Dalam Pagar.
Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Pada awalnya, lokasi ini berupa sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahmid Allah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan, dan asrama para santri.
Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Pada awalnya, lokasi ini berupa sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahmid Allah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan, dan asrama para santri.
Sejak
itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai
pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam
Pagar. Di situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan
sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model
pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad ini merupakan model baru yang belum
ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan masa itu.
Pesantren
yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi
sebagai pusat keagamaan, tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh
Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan
itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem
irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Tidak
sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga
aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil.
Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini
menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.
Dari
bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat.
Kitab-kitab itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad utup usia pada
1812 M, di usia 105 tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabilal Muhtadin,
Tuhfatur Raghibiin, Al Qaulul Mukhtashar, di samping kitab Ushuluddin, kitab
Tasauf, kitab Nikah, kitab Faraidh, dan kitab Hasyiyah Fathul Jawad. Karyanya
paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin yang kemasyhurannya tidak
sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia,
Brunei, dan Pattani (Thailand Selatan).
Anak
Cerdas dari Lok Gabang
Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya. Tiba kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.
Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya. Tiba kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.
Mulanya,
Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya
itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan
kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran
budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana.
Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.
Beranjak
dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang solehah. Ketika
Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut
ilmu di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami,
meski dengan perasaan berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat
untuk mewujudkan cita-citanya.
Begitulah
sepenggal kisah perjalanan hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar
kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19 Maret 1710 M. Ia adalah pengarang Kitab
Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan Hukum Fiqih di Asia Tenggara.
Perdalam
Ilmu Agama
Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi, dan al ‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd Karim al Samman al Hasani al Madani. Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu Qiraat. Ia bahkan mengarang kitab Qiraat 14 yang bersumber dari Imam Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.
Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi, dan al ‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd Karim al Samman al Hasani al Madani. Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu Qiraat. Ia bahkan mengarang kitab Qiraat 14 yang bersumber dari Imam Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.
Menurut
riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
belajar bersama tiga orang Indonesia lainnya: Syekh Abdul Shomad al Palembani
(Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdul Rahman Mesri (Betawi).
Mereka berempat dikenal dengan Empat Serangkai dari Tanah Jawa
yang sama-sama menuntut ilmu di al-Haramain al Syarifain. Kemudian, Syekh
Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya karena kawin dengan anak pertama
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Setelah
lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung
halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta.
Ia menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan,
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sempat memberikan petunjuk
arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.
Ramadhan
1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di
Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tamjidillah,
menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya
sebagai seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya diharapkan
menyinari seluruh Kerajaan Banjar.
Syekh
Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam
bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya,
termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga
berdakwah dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun
masyarakat kelas bawah.
Lebih
40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya,
sebelum maut menjemputnya. Dia meninggal pada 1812 M di usia 105 tahun. Sebelum
wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai
dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila
sungai tidak bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka
ia dikebumikan Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang
terletak sekitar 56 km dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan panggilan lain anak cerdas kelahiran Lok Gabang ini.
Sabil
Al-Muhtadin
Alasan
utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya
kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam
bahasa Arab.
Buku-buku
yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di
Indonesia cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama
asal Timur Tengah, ulama Nusantara, maupun para ilmuwan kontemporer yang
memiliki spesifikasi tentang keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam.
Dari
berbagai buku-buku fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin
li al-Tafaqquh fi Amr Al-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk
agar menjadi faqih (alim) dalam urusan agama.
Kitab
ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam
bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad
Arsyad mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama
terdahulu, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj yang ditulis oleh Syekh al-Jamal
al-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Syekh al-Islam Zakaria al-Anshary, kitab
Mughni oleh Syekh Khatib Syarbini, kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Syekh Ibnu
Hajar al-Haitami, kitab Miratu al-Thullab oleh Syekh Abdurrauf
al-Sinkili, dan kitab Shirat al-Mustaqim karya Nurruddin al-Raniri.
Selain
itu, ada alasan utama yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat
menulis kitab ini. Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan)
umat Islam di Banjar (Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang
berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih
melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah satunya adalah kitab Shirat
al-Mustaqim yang ditulis Syekh Nurruddin al-Raniri.
Kitab
Shirat al-Mustaqim-nya al-Raniri ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang
lebih bernuansa bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi
masyarakat Islam Banjar untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan
Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian
menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih mudah
dipahami masyarakat Islam Banjar.
Dalam
mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyatakan
bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah dan
diselesaikan pada 1195/1781 M.
Secara
umum, kitab ini menguraikan masalah-masalah fikih berdasarkan mazhab
Syafi'i dan telah diterbitkan oleh Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah.
Kitab Sabil al-Muhtadin ini terdiri atas dua jilid.
Seperti
kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas
masalah-masalah fikih, antara lain, ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji.
Kitab
ini lebih banyak menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat
dibahas. Walaupun begitu, kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh
Arsyad menerapkan hukum Islam di wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan
Tahmidullah yang memerintah saat itu.
Kontekstual
Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul “Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-Muhtadin,” menyatakan, Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang. Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau tentang zakat.
Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul “Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-Muhtadin,” menyatakan, Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang. Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau tentang zakat.
Dicontohkan
Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik),
terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang sangat progresif
dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu.
Syekh
Arsyad al-Banjari menyatakan, Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja
baik sebagai pengrajin maupun pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup
untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Misalnya, umur yang
biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun
dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan zakat
kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.
Dan,
yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang cukup untuk
masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yang
disebutkan di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan izin
Imam, seperti kebun yang sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di
masa sisa umur manusia secara umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan
zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan diwariskannya kepada keluarganya karena
kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada mustahik yang lain. Inilah tentang
fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan tidak bisa berdagang.
Menurut
Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah melampaui
zamannya. Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep
kemaslahatan umum (maslahah al-ammah), di mana zakat tidak sekadar dimaknai
sebagai pemberian karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan
sosial, yaitu supaya harta tidak hanya terputar di kalangan orang kaya
semata, ujar Kailani.
Beliau
memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa menghidupi
keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima
zakat lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara kesejahteraan
(welfare-state) di Eropa, di mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya
yang belum memperoleh pekerjaan layak, tambahnya.
Beberapa
ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf
al-Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Masudi mengenai
zakat yang ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali
gagasan Syekh Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali
upaya-upaya reinterpretasi kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim
kontemporer.
Berdasarkan
contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di
Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis
oleh ulama-ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan
cemerlang yang terlontar melampaui zamannya.
Seperti
diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih
bagi umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat
Melayu lainnya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, hingga Thailand.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar